Ada orang yang enggan menulis hanya karena rasa khawatir. Ia khawatir kalau artikel yang dihasilkannya bakal tidak sempurna. Dia membayangkan betapa ia akan merasa sangat malu kalau ketahuan bahwa dirinya tak bisa diandalkan. Apa yang akan dikatakannya kepada para sahabat kalau ternyata artikelnya ditolak redaksi? Di mana ditaruh mukanya kalau ternyata artikelnya jelek?
Dia sesungguhnya orang yang sangat berpendidikan, memiliki ilmu lebih dari cukup untuk dibagikan. Tapi, karena dibayangi kekhawatiran seperti tadi, maka dia putuskan untuk menghindari ajakan menulis di media massa. Orang seperti ini nyata ada, bukan mengada-ada.
Manusia tak ada yang sempurna. Hanya Sang Pencipta yang sempurna. Karena manusia sendiri tak sempurna, maka hasil karyanya pun tentu ada cacat-celanya. Seharusnya, manusia tak perlu khawatir dengan ketidaksempurnaan yang melekat pada dirinya. Ia tak sendiri! Semua manusia memiliki ketidaksempurnaan itu.
Dalam hal berkarya, yang terpenting adalah berusaha untuk menghasilkan sebuah karya yang terbaik yang kita bisa, bukan berharap karya yang sempurna. Karya yang terbaik adalah karya yang dikerjakan secara total dengan sumber daya yang ada. Walau hasilnya jauh dari sempurna, tak mengapa. Yang penting, sudah dikerjakan sebaik mungkin, tidak setengah-setengah atau sekadar membuat. Seyogianya itulah prinsip yang kita pegang dalam menulis, bahkan dalam mengerjakan tugas apapun dalam kehidupan ini.
Adalah hal yang normal dan wajar kalau sebuah karya memiliki kekurangan di sana-sini. Walau pun sebuah artikel sudah dikerjakan dengan sebaik-baiknya, tapi tetap saja masih ada kekurangannya. Tulisan saya ini dan tulisan-tulisan saya sebelumnya jauh dari sempurna. Kalau tidak analisisnya dangkal, pasti referensinya kurang. Kalau tidak referensinya kurang, pasti sepi dari data pendukung. Kalau tidak sepi dari data pendukung, pasti ada saja kesalahan ketik. Sejatinya, saya sudah berusaha menyusun dengan kemampuan yang ada, tapi begitu dipublikasikan, eh, ternyata masih juga ada beberapa kesalahan dan kekurangan.
Kalau demikian halnya, mengapa menolak berkarya hanya karena khawatir hasilnya nggak baik? Takut diledek teman, takut dicemooh, takut dicibir, ditolak atau sejenisnya!? Daripada membiarkan diri diliputi kekhawatiran yang tak masuk akal semacam itu, lebih baik segera saja menulis. Menulis dengan sebaik-baiknya dan mengirimkannya ke koran, majalah, atau ke media lain. Melakukannya dengan ringan dan lepas. Tidak lagi menjadikannya beban, sehingga bisa merasakan getar pesonanya saat menjalani prosesnya.
Selamat menulis.
( I Ketut Suweca , 27 Desember 2011).
http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/27/enggan-menulis-karena-khawatir-hasilnya-tak-sempurna/
0 comments:
Posting Komentar